SAPARUA, HARIANMALUKU.com : Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XX Maluku menekankan pentingnya integrasi antara pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan dalam setiap kegiatan yang digelar di ruang publik bersejarah.
Hal itu disampaikan Kasubag Umum BPK Wilayah XX Maluku, Stenly Loupatty, di sela-sela kegiatan Festival Benteng Duurstede di Kecamatan Saparua, Rabu (10/12/25).
Loupatty mengatakan pihaknya ingin menghubungkan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Menurut dia, BPK Wilayah XX memiliki peran ganda: melestarikan cagar budaya sekaligus mendorong pertumbuhan objek pemajuan kebudayaan.
“Keduanya harus berjalan seiring agar pelestarian tidak hanya menatap masa lalu, tetapi juga memberi ruang bagi kreativitas masyarakat saat ini,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa Benteng Duurstede tidak lagi dapat dipandang hanya sebagai bangunan peninggalan sejarah yang merekam kejayaan cengkih dan pala. Benteng itu, katanya, merupakan ruang publik yang dapat dimanfaatkan seniman dan budayawan Maluku untuk menampilkan karya mereka.
“Benteng ini harus menjadi ruang hidup, ruang berkegiatan, dan ruang ekspresi budaya,” kata Loupatty.
Karena itu, Loupatty mengajak Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, Pemerintah Kecamatan Saparua, para raja, patih, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan Benteng Duurstede sebagai ruang sosial yang menghidupkan budaya masyarakat Saparua dan Lease.
“Kita tidak cukup hanya merayakan kebesaran sejarah. Kebudayaan harus dibangun dalam konteks kekinian,” katanya.
Loupatty juga menilai Benteng Duurstede memiliki potensi besar sebagai destinasi publik yang mampu menampilkan potensi masyarakat lokal. Terkait kemungkinan Festival Benteng Duurstede digelar setiap tahun, ia menyebut hal itu menjadi harapan BPK Wilayah XX sebagai bentuk kolaborasi berkelanjutan dengan pemerintah daerah.
“Amanat undang-undang jelas menempatkan kerja sama pusat dan daerah sebagai kunci pemajuan kebudayaan,” pungkasnya.
Rangkaian kegiatan festival yang telah dimulai di Banda Naira dan Saparua direncanakan berlanjut ke Kota Ambon sebagai penutup untuk tahun anggaran 2025. BPK berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan di tahun-tahun berikutnya untuk memperkuat ekosistem kebudayaan di Maluku.
“Saparua adalah kota bersejarah yang sering kali terabaikan. Karena itu, kami memberikan perhatian khusus dari sisi sejarah, sosial, dan budaya,” tuturnya.
Lebih jauh, Loupatty menjelaskan bahwa menurut UU Cagar Budaya, pelestarian memiliki pola kewenangan berjenjang mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah kabupaten/kota. Pemeringkatan cagar budaya pun dibagi menjadi Cagar Budaya Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Sementara itu, Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) sangat membutuhkan kolaborasi antarpihak.
“Kami tetap mendukung dan melestarikan seluruh cagar budaya, tetapi pemerintah daerah juga harus ikut bekerja sama,” katanya.
Terkait situs bersejarah lain di Saparua, Loupatty mengatakan hampir semua negeri di pulau itu memiliki warisan sejarah. Di antara situs yang tercatat sebagai ODCB maupun cagar budaya adalah Baileu Saparua yang terkait erat dengan sejarah perjuangan Kapitan Pattimura.
“Ada juga Gunung Saniri, Baileu Nolot, dan Baileu Haria sebagai Baileu Pulu yang sangat dikenal masyarakat,” jelasnya.
Menurut Loupatty, masih banyak tempat bersejarah di Saparua yang dapat dikembangkan ke depan, tergantung bagaimana masyarakat dan pemerintah melihat serta memaknai potensi tersebut.
“Pelestarian budaya tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Jika dilakukan secara kolektif dan sinergis, itu akan menjadi kekuatan besar untuk membangun Maluku, Maluku Tengah, dan khususnya Saparua,” katanya.


