Ia menegaskan, insiden memilukan itu bukan sekadar arogansi oknum, melainkan bentuk pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sekaligus penghianatan terhadap MoU Dewan Pers–Kapolri yang seharusnya menjamin perlindungan jurnalis.
“Ini sudah keterlaluan. Polisi bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati kesepakatan institusional dengan Dewan Pers. Wartawan itu dilindungi undang-undang, bukan untuk diintimidasi atau diperlakukan seperti kriminal,” tegas Sukma kepada awak media Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, peristiwa yang menyeret nama Kasat Reskrim Polres Mimika AKP Rian Oktaria dan Kanit I Ipda Ahmad kian mempermalukan wajah kepolisian.
Alih-alih profesional dalam menangani klarifikasi pemberitaan soal dugaan perjalanan dinas fiktif Kadistrik Jita berdasarkan audit BPK 2024, aparat justru menjadikan wartawan sasaran teror dengan ponsel disita, dibawa paksa ke Polres, diancam ditembak, ditantang duel hingga ditanduk kepala.
“Ini bukan prosedur hukum. Ini adalah bentuk kekerasan aparat terhadap pers, dan secara terang-terangan melawan semangat MoU Dewan Pers–Kapolri yang diteken langsung oleh pimpinan Polri,” ujarnya.
Sukma menekankan, MoU tersebut adalah komitmen resmi negara untuk melindungi kebebasan pers. Bila polisi sendiri yang melanggar, maka publik berhak bertanya: apakah hukum hanya berlaku bagi rakyat, sementara aparat kebal hukum?
Ia mendesak Kapolda Papua Tengah hingga Kapolri untuk tidak tutup mata.
“Kalau kasus ini dibiarkan, maka demokrasi di negeri ini berada di ujung tanduk. Kebebasan pers adalah roh demokrasi, dan polisi wajib menjaga, bukan membunuhnya,” pungkas Sukma dengan nada keras.


