Sesuai ketentuan, setiap Kepala Keluarga (KK) berhak menerima 20 kilogram beras. Namun faktanya, warga hanya pulang membawa 10 kilogram. Ironisnya, pemotongan ini bukan karena stok beras menipis, melainkan kebijakan sepihak Kepala Ohoi, Sosimus Fatubun.
Alih-alih meminta maaf, Fatubun justru dengan enteng membenarkan keputusannya. Ia beralasan, warga penerima bantuan dianggap tidak aktif dalam kerja bakti di desa maupun gereja, sehingga jatah mereka dibagi untuk kelompok lain.
“Oh iya, itu kebijakan yang diambil oleh kepala ohoi karena sebagian besar yang terima bantuan ini tidak pernah kerja bakti di ohoi. Jadi dibagikan juga dengan yang selalu setiap kali kerja bakti di gereja dan ohoi,” katanya saat dikonfirmasi, Senin (18/8/2025).
Lebih jauh, Fatubun bahkan menuding masyarakat malas. “Persiapan 17 Agustus saja dorang (masyarakat) tidak kerja bakti. Bagaimana negara tinggal kasih dorang terus? Jadi begitu Ade. Biar ada rasa adil te...” ucapnya seolah tanpa rasa bersalah.
Pernyataan ini memicu kemarahan publik. Bagi masyarakat kecil, beras 20 kilogram saja masih terasa kurang. Pemangkasan menjadi 10 kilogram sama saja merampas hak mereka. “Kami diminta untuk foto bersama 2 karung beras (20 kg), tapi yang kami terima hanya 1 karung (10 kg). Jadi, kami tidak mau terima bantuan itu,” ungkap seorang warga dengan nada geram.
Praktik manipulasi ini kian menelanjangi rakusnya oknum pemerintah desa. Bantuan yang mestinya hadir sebagai wujud kepedulian negara, justru dipermainkan demi alasan yang tak masuk akal. Warga merasa dipermalukan: difoto seolah menerima penuh, padahal yang dibawa pulang hanya separuh.
Aktivis sosial menilai kebijakan Kepala Ohoi Soinrat sudah melampaui batas dan merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan. “Bantuan CPP bukan bonus kerja bakti, melainkan hak rakyat miskin. Kalau dipangkas seenaknya, ini sama saja menelantarkan rakyat. Pemerintah daerah harus turun tangan,” tegas seorang pemerhati di Langgur.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Pemkab Maluku Tenggara. Tanpa pengawasan ketat, program strategis pemerintah pusat bisa dipermainkan di tingkat desa. Sementara itu, rakyat kecil yang lapar hanya bisa menggigit bibir menahan getir.
“Negara hadir untuk melindungi rakyat. Jangan biarkan perut orang miskin dipermainkan. Kalau beras pun bisa dipotong, lalu apa yang tersisa untuk kami?” keluh seorang tokoh masyarakat Kei Besar.
.jpeg)

