Wakil Bupati Charlos Viali Rahantoknam menyebut Kabupaten Maluku Tenggara memiliki beberapa kawasan konservasi, baik di darat maupun di laut. Kawasan Konservasi tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, Nomor 6 Tahun 2016.
"Kawasan ini sudah cukup lama ditetapkan, tetapi sudah cukup lama juga kawasan ini tidak dikelola," ungkap Wabup dalam sambutannya.
Penetapan kawasan konservasi ini, lanjut Wabup dimaksudkan untuk melindungi, melestarikan, dan sekaligus mengelola kawasan tersebut, guna memberikan manfaat sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat.
"Namun yang terjadi, kawasan ini seakan tak ber—tuan," bebernya.
Dikatakan, Undang—undang Nomor 23 Tahun 2014 telah membatasi kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut. Disisi lain, pihak Pemerintah Provinsi Maluku dengan berbagai keterbatasan, tidak mampu menjangkau dan mengelola kawasan konservasi ini.
Padahal, dari sisi sumber daya ekonomi, kawasan ini cukup kaya akan potensi. Baik di sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, maupun pariwisata dimana setiap kali Pemerintah Daerah dan masyarakat hanya bisa melihat dan menonton, bagaimana sumber daya bahari di sekitar kawasan ini dieksploitasi oleh pihak luar.
"Hal ini sudah berulang kali kami suarakan kepada pihak-pihak terkait, tetapi solusi konkretnya tidak pernah tercapai. Ini salah satu urgensi penting yang kami sampaikan, agar dapat dimasukan dalam substansi revisi rencana zonasi ini," tegasnya.
Ia menjelaskan, pengelolaan kawasan agar diatur secara tegas, dengan memperhatikan aspek rentang kendali sebagai daerah kepulauan yang berkaitan dengan masalah pengelolaan potensi sumber daya kawasan.
"Pemerintah Daerah dibatasi dengan kewenangan, hampir tidak ada ruang bagi Pemerintah Daerah. Meskipun demikian, kami tidak bisa tinggal diam melihat sumber daya yang ada di sekitar Kami, dieksploitasi secara destruktif," ucap Wabup.
Bagi Rahantoknam, salah satu strategi yang perlu dorong adalah, pembentukan Peraturan Daerah Tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA). Masyarakat adat adalah komunitas asli yang sudah hidup berdampingan dengan alam, hutan, pantai dan laut, jauh sebelum negara dan aturan-aturannya dibuat.
"Hari ini Kita berbicara tentang Revisi Rencana Zonasi. Kita tahu bahwa kawasan konservasi perairan di Maluku Tenggara yang luasnya 150.000 hektare ditetapkan tahun 2016 dengan berbagi zona yang ditentukan, sesuai kondisi pada saat itu," sebutnya.
Menurutnya, hampir 10 tahun berlalu dan selama itu juga kawasan Konservasi di Maluku Tenggara nyaris tanpa pengawasan dan pengelolaan. Ia memperkirakan dalam 10 tahun ini, banyak hal sudah berubah, kerusakan yang mungkin sudah terjadi, atau ekosistem baru yang muncul.
"Revisi Rencana Zonasi ini saya harapkan dilakukan dengan pendekatan yang lebih aktual. Tidak hanya di atas kertas, tetapi harus berdasarkan data dan fakta di lokasi," tegasnya.
Dikesempatan itu, Wabup mengajak seluruh peserta Forum untuk secara aktif mengikuti konsultasi publik di hari ini. Forum ini adalah ruang untuk menyampaikan pemikiran yang salama ini mungkin belum tersampaikan.
"Berikan masukan, saran dan pemikiran yang konstruktif, agar menjadi referensi dalam perumusan kebijakan pengelolaan kawasan koservasi perairan yang ada di sekitar kita," pungkasnya.
Konsultasi Publik II Revisi Rencana Zonasi KKP3K ini dilanjutkan dengan forum diskusi dipimpim moderator Diana Matahorila, menghadirkan narasumber Kepala DKP Provinsi Maluku, Dr. Ir. Erawan Asikin, M.Si dan Loka PSPL Sorong, Arief Reza Fahlevi, S.St.Pi, M.Si. Hadir pula Ketua Komisi II DPRD Malra Benediktus Fadly Reyaan, para perwakilan OPD dan instansi terkait. Kegiatan ini turut diikuti lewat zoom Cora Mustika dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Perikanan.


