Hal itu disampaikan Bupati usai melaksanakan ziarah di makam tokoh perempuan Kei, Nen Dit Sakmas di Ohoi Samawi, Kecamatan Kei Kecil Timur, Senin, 8 September 2025. Menurutnya, kegiatan adat seperti ini bukan sekadar seremonial, tetapi sarat makna yang harus dihayati dalam kehidupan sehari-hari.
“Mungkin kegiatan ini dianggap seremonial biasa, tapi buat saya tidak. Warisan Larvul Ngabal adalah bekal hidup orang Kei sebelum datangnya undang-undang positif. Karena itu, saya berharap peringatan ini dilakukan bukan hanya di Maluku Tenggara, tapi juga di Tual, Papua, dan di mana pun masyarakat Kei berada,” ujar Thaher.
Warisan yang Menyatukan
Bupati menjelaskan, jauh sebelum agama masuk, masyarakat Kei telah hidup diatur oleh hukum adat Larvul Ngabal yang dikenal dengan tujuh pasal hukum adat. Ketika agama-agama seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha hadir, hukum adat tetap menjadi perekat persatuan orang Kei.
“Pada hakikatnya kita adalah satu. Hukum adat telah lebih dulu mengatur hidup kita. Itu sebabnya saya memandang Larvul Ngabal sebagai warisan luar biasa yang tidak boleh dilupakan,” tambahnya.
Nen Dit Sakmas, lanjut Thaher, merupakan sosok perempuan hebat yang ikut menetapkan dasar hukum Larvul Ngabal bersama para leluhur. Lambang kerbau yang hingga kini menjadi simbol hukum adat Kei adalah warisan yang disumbangkan oleh tokoh tersebut.
Dari Seremonial ke Pendidikan Formal
Thaher menekankan, peringatan adat tidak boleh berhenti pada ritual tahunan. Nilai-nilainya harus diterapkan dalam kehidupan dan diwariskan lewat jalur pendidikan.
“Saya khawatir kalau tidak diperingati, suatu saat nilai-nilai itu bisa bergeser. Karena itu, sudah saatnya Larvul Ngabal dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal supaya anak-anak Kei sejak kecil mengenal adatnya sendiri,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa Kota Langgur telah memiliki Tugu Landmark sebagai penanda pentingnya hukum adat Larvul Ngabal. Menurutnya, hal itu harus dihubungkan dengan berbagai kegiatan kebudayaan agar semakin bermakna.
Pegangan di Era Modernisasi
Menjawab pertanyaan tentang relevansi hukum adat di tengah era digitalisasi, Bupati mengutip pesan Raja Maur Ohoiwut, J.P. Rahail, yang mengingatkan agar generasi Kei tidak hanya sibuk menerima hal baru lalu melupakan warisan lama.
“Kemajuan teknologi luar biasa. Tapi kalau kita tidak pegang hukum ini, sopan santun akan hilang. Kita tidak lagi tahu batasan dalam pergaulan. Karena itu, adat harus tetap dijaga,” tegasnya.
Dalam bahasa Kei, Bupati menyampaikan filosofi hidup: Yaa ken te sasa rok i, ma sasa te sasa rok i yang berarti “Saya benar ya salah, apalagi saya salah.” Ungkapan ini menjadi refleksi bahwa setiap manusia tidak luput dari kesalahan, tetapi adat tetap harus dihormati.
Adat sebagai Jati Diri Bangsa
Menutup pernyataannya, Thaher menegaskan bahwa modernisasi tidak boleh membuat masyarakat Kei kehilangan jati diri.
“Biarlah orang berkata apa, tapi saya tetap orang Kei yang menjaga hukum adat Larvul Ngabal. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai adat dan budayanya,” pungkas Bupati.