LANGGUR, MALUKU TENGGARA – Reputasi Indonesia sebagai negara ramah pelayaran internasional tercoreng di Pantai Ngiarvarat Ohoidertawun, Kabupaten Maluku Tenggara, Jumat (25/7/2025). Pasalnya, Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tual dinilai gagal total menjalankan tugas pelayanan keimigrasian bagi para pelayar internasional yang tergabung dalam event bergengsi Sail to Indonesia 2025.
Koordinator International Rally Organization Sail to Indonesia, Raymon T. Lesmana, secara terbuka meluapkan kekecewaannya kepada media. Menurutnya, perubahan struktur birokrasi keimigrasian yang kini berada di bawah kementerian baru tidak boleh dijadikan alasan untuk buruknya pelayanan di lapangan.
“Perubahan di pusat itu memang ada, tapi kami sudah mengantisipasi sejak awal. Kami sudah bayar biaya layanan di luar TPI sesuai arahan Imigrasi Tual bahkan sebelum kapal hadir. Namun, tetap saja pelayanan tidak berjalan semestinya,” tegas Raymon.
Raymon mengungkap fakta mencengangkan. Pada tanggal 22 Juli, pihaknya telah membayar biaya keimigrasian untuk 17 kapal yang bahkan belum sandar di Maluku Tenggara. Sebelumnya, pembayaran juga telah dilakukan untuk 15 kapal. “Bayangkan, kami bayar duluan, tapi ketika kami minta pemeriksaan pagi supaya kru bisa ikut technical meeting penting terkait rute dan keselamatan, mereka baru muncul sore. Akibatnya sembilan kapal tidak ikut rapat teknis. Ini memalukan,” katanya geram.
Keterlambatan pelayanan itu, lanjutnya, berdampak serius pada manajemen pelayaran yang melibatkan puluhan kapal asing. “Para kapten kapal kecewa karena menganggap kami tidak mampu mengatur acara, padahal masalahnya ada di pelayanan imigrasi yang lamban dan tidak profesional,” ujar Raymon.
Ironisnya, Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tual justru berpegang pada aturan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membebani peserta. “Kami sudah ajukan permohonan penghapusan biaya ke pusat, tapi tetap disuruh bayar. Ya kami ikuti, demi kelancaran event. Tapi apa balasannya? Pelayanan amburadul,” tambahnya.
Event internasional yang sejatinya menjadi etalase keindahan dan keramahan Maluku Tenggara justru ternoda. “Ini bukan hanya soal uang, tapi soal wajah Indonesia di mata dunia. Kapal asing datang ke sini dengan ekspektasi tinggi, tapi malah mendapat kesan buruk karena birokrasi yang lamban,” tegas Raymon.
Akibat layanan yang kacau, setidaknya 11 kapal belum masuk, dengan dua di antaranya memilih langsung menuju Kupang karena kendala teknis dan kekecewaan terhadap manajemen di Tual. “Kami rugi waktu, rugi tenaga, rugi kepercayaan. Kalau seperti ini terus, saya khawatir mereka tidak mau datang lagi tahun depan,” pungkas Raymon.
Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tual sendiri hingga berita ini diturunkan belum memberikan klarifikasi resmi. Sementara di lapangan, sorotan publik terhadap kinerja mereka semakin tajam, bahkan disebut sebagai “birokrasi yang menghambat, bukan melayani”.