Hal itu diungkapkan Tarsisius Tharob, Anggota Kelompok Gapoktan Maren, saat diwawancarai wartawan Harian Maluku, Rabu (27/8/2025). Ia menuturkan, perjalanan bawang merah Yafawun sudah dimulai sejak leluhur, namun produksi modern mulai terlihat signifikan pada 2018 berkat dukungan bibit dari Pemerintah Daerah Maluku Tenggara.
“Puncak produksi itu tahun 2018, luasannya sampai 35 hektar. Tapi karena bibit susah dan mahal, produksi berikutnya turun drastis,” ungkap Tarsisius.
Dukungan Bibit, Tapi Cuaca Jadi Musuh
Perjalanan petani bawang Yafawun sempat mendapat angin segar. Pada tahun 2023, Bank Indonesia Provinsi Maluku menyalurkan 2 ton bibit, disusul tambahan 2 ton dari dana pemberdayaan desa pada 2024. Total, petani menerima 4 ton bibit untuk digarap.
Sayangnya, alam berkata lain. Cuaca ekstrem membuat lebih dari 90 persen tanaman gagal panen. “Kami sangat terpukul. Tahun 2024 itu hampir habis semua karena hujan dan panas yang tidak menentu,” jelasnya.
Tidak ingin menyerah, tahun 2025 ini petani memutuskan mengusahakan bibit sendiri dengan luasan terbatas, sekitar 1 hektar.
Tahun Keemasan 2023
Meski pernah gagal, Tarsisius mengakui produksi terbaik justru terjadi pada 2023. Faktor musim yang tepat, cuaca mendukung, dan ketersediaan pupuk saat itu membuat panen melimpah. “Itu masa paling baik. Kami bisa lihat bawang merah lokal benar-benar menjanjikan,” katanya.
Tantangan Pasar: Bersaing dengan Bawang Luar
Menurut Tarsisius, persoalan pasar masih menjadi dilema. Mayoritas pedagang di Langgur maupun Tual masih bergantung pada pasokan bawang dari luar daerah. Produksi lokal yang terbatas membuat bawang Yafawun sulit mendominasi.
“Bawang merah lokal sebenarnya punya aroma dan rasa lebih bagus. Konsumen sering bilang begitu. Tapi karena jumlahnya sedikit, kami belum bisa menjawab kebutuhan pasar,” tuturnya.
Kendala Utama: Cuaca, Pupuk, dan Air
Kendala klasik yang selalu dihadapi petani Yafawun adalah cuaca ekstrem dan ketersediaan pupuk. Aplikasi pupuk kerap terlambat karena sulit diperoleh, meski ada subsidi pemerintah. “Subsidi pupuk ada, tapi saat dibutuhkan tidak tersedia. Kadang sampai panen, pupuk belum datang,” keluh Tarsisius.
Masalah air juga menjadi tantangan. Meski sudah ada bantuan berupa sumur dangkal, sumber air kerap tidak mencukupi. “Air bersih masih sangat kurang. Sumur dangkal cepat kering, padahal tanaman bawang sangat butuh pengairan,” jelasnya.
Prospek ke Depan
Meski penuh tantangan, lahan di Yafawun dinilai sangat mendukung. Waktu tanam hingga panen hanya membutuhkan sekitar tiga bulan. Hal ini membuka peluang bagi pengembangan produksi jika persoalan pupuk dan air bisa teratasi.
“Kondisi tanah kami sangat mendukung. Kalau ada dukungan bibit, pupuk, dan air yang cukup, bawang merah lokal bisa berkembang dan menyaingi produk luar,” ujar Tarsisius penuh harap.
Saat ini, petani di Ohoi Yafawun hanya menggarap lahan 1 hektar untuk bawang merah. Namun, dengan potensi lahan subur dan kualitas bawang lokal yang unggul dari sisi aroma dan rasa, petani yakin bawang merah Yafawun tetap memiliki masa depan cerah.