Dalam forum resmi penyusunan RKPD 2025–2029 itu, Bupati menyoroti anggaran senilai Rp25 miliar yang telah dihabiskan antara tahun 2018 hingga 2023 untuk program yang dinilai gagal mencapai hasil.
“Saya mau tanya, di mana kelapanya? Saya sendiri yang ditanya masyarakat. Ini uang rakyat. Jangan sampai program sebesar itu tidak ada jejaknya. Kita tidak bisa terus-terusan tutup mata,” ucapnya dengan nada kecewa.
Pernyataan tersebut tidak hanya mengundang perhatian peserta Musrenbang, tetapi juga mencerminkan ketegasan pemimpin daerah dalam menuntut akuntabilitas.
Bupati menilai kegagalan tersebut sebagai bukti lemahnya mekanisme perencanaan, pengawasan, dan koordinasi antara OPD. Ia menyebutkan bahwa alokasi anggaran harus memiliki prinsip keterkaitan langsung terhadap visi-misi daerah, dan setiap rupiah yang dibelanjakan wajib memberikan dampak nyata.
“Kita butuh alignment strategis dari pusat hingga daerah. Tidak boleh ada program yang berdiri sendiri. Jika sudah dilakukan di provinsi, kabupaten tidak perlu intervensi lagi. Begitu pula sebaliknya,” tegasnya.
Lebih jauh, Bupati Thaher mendorong transformasi dalam paradigma pelayanan publik. Ia ingin agar pemerintah menjadi proaktif dalam menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya di bidang pertanian, energi, dan air bersih.
Ia bahkan menyebut, “Kita ini bukan kumpul untuk rutinitas. Kita kumpul karena ada tanggung jawab besar. Rakyat menunggu, bukan janji, tapi bukti.”
Teguran keras terhadap program peremajaan kelapa menjadi simbol dari arah baru yang ingin dibawa Bupati: tata kelola anggaran yang cermat, pelayanan yang berdampak, serta keberanian untuk memutus rantai kebiasaan buruk di birokrasi.
Diakhir sambutannya, ia menegaskan bahwa kerja pemerintahan harus berorientasi pada hasil, bukan sekadar laporan. “Kalau bangun gedung tapi tidak ada jalan ke sana, itu namanya belum tuntas,” pungkasnya.