Pernyataan ini disampaikan Bupati Maluku Tenggara Muhammad Thaher Hanubun dalam sambutannya pada pembukaan Forum Konsultasi Publik Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Ranwal RKPD) Tahun 2026 di Aula Kantor Bupati Senin, (28/4/2025).
Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, Pasal 80 menyebutkan bahwa, Rancangan Awal RKPD dibahas bersama dengan kepala Perangkat Daerah dan pemangku kepentingan dalam forum konsultasi publik, untuk memperoleh masukan dan saran penyempurnaan.
Bagi Bupati Poin ini bermakna, bahwa sebelum dokumen RKPD ini berkembang dalam tahapan-tahapan partisipatif lainnya, seperti Forum OPD dan Musrenbang, maka pada Konsultasi Publik inilah Rancangan Awal yang bersifat kebijakan top down, dibahas dan diboboti.
Sehubungan dengan upaya memboboti Rancangan Awal RKPD ini, maka beberapa hal pokok yang perlu Saya sampaikan:
• RKPD ini harus lebih tajam dalam menerjemahkan Visi dan Misi, program prioritas, termasuk janji–janji kampanye yang Saya dan Pak Wakil Bupati suarakan.
• RKPD ini juga harus secara jelas mengatur bagaimana Kabupaten Maluku Tenggara berkontribusi untuk mendukung ASTA CITA Bapak Presiden. Sinergi dan keselarasan arah kebijakan antara pusat dan daerah harus benar–benar diperhatikan.
Misalkan, kegiatan penyediaan air bersih, sanitasi dan peningkatan kualitas rumah untuk masyarakat. Ini sangat berkaitan dengan upaya penanggulangan stunting dan kemiskinan ekstrim. Maka, calon penerima dan lokasi pelaksanaan kegiatan haruslah berdasar pada data yang benar–benar andal.
Sebagai catatan, Hasil Audit BPKP terhadap kinerja perencanaan dan penganggaran, menunjukkan: sebagaian besar program dan kegiatan untuk menurunkan kemiskinan, dikategorikan tidak efektif. Hal ini disebabkan antara lain:
- Rendahnya konsistensi antara arah kebijakan perencanaan dengan alokasi anggaran. Perencanaan mengarahkan lain, uang digunakan untuk hal lain. Selain itu, kebijakan di level perangkat daerah pun masih tidak sesuai dengan kebijakan makro di level daerah.
- Rincian belanja di dalam kegiatan/Sub Kegiatan tidak mencerminkan output yang akan dicapai. Belanja pegawai tinggi, belanja publik rendah. Masih banyak anggaran habis untuk rapat koordinasi, honorarium, perjalanan dinas, bahkan untuk rincian-rincian yang bersifat administratif.
- Selanjutnya lokasi tidak sesuai, artinya penentuan lokasi masih kurang memperhatikan data sasaran. Keluarga miskin ekstrim atau masyarakat rentan stunting yang menjadi prioritas tidak tersentuh intervensi.
- Yang terakhir, kinerja pelaporan. Hal ini masih menjadi masalah, karena kegiatan yang dilakukan tidak terdokumentasi secara baik, untuk ditindaklanjuti sebagai laporan terhadap intervensi.
Hal ini berarti, sektor-sektor pemberdayaan di daerah, seperti perikanan, pertanian, perindustrian, koperasi dan UKM, harus mampu turun, menjangkau dan merekrut sasaran masyarakat miskin dan miskin ekstrim. Mereka yang memiliki potensi namun belum ter-cover dalam kelompok binaan atau kalompok pemberdayaan, perlu untuk difasilitasi.
Menurutnya, upaya penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pemberdayaan. Masyarakat miskin yang tidak berdaya secara ekonomi, harus dapat diidentifikasi, direkrut, dibina, didampingi, diberikan bantuan pemberdayaan, didorong untuk akses modal, termasuk sampai dengan pemasaran hasil produksinya.
Misalnya perencanaan untuk menyelesaikan Persoalan Stunting. Setiap perangkat daerah harus tahu, apa kontribusi yang perlu disumbangkan. Dinas A harus buat apa? Dinas B harus menyelesaikan yang mana? Dinas C kerjakan bagian mana? ini harus didudukan.
"Dengan kolaborasi dan sinergi yang optimal, maka upaya untuk memajukan daerah, akan berjalan efektif dan efisien, di tengah keterbatasan – keterbatasan yang dihadapi daerah ini," ujarnya.